Pengembangan Kawasan Perdesaan dalam RTRWberbasis Karakter lokal dan Lingkungannya
Oleh :Baba Barus, Didiet O. Pribadi, Andi S. Putra,
O.Rusdiana, dan Setia hadi(Pusat
Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah) LPPM IPB, Baranang Siang,Bogor,Email penulis pertama : Bababarus@yahoo.com;
Hp : 081383600745
I. PENDAHULUAN
Menurut UU No 26, tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang
diwujudkan dalam bentuk struktur dan pola ruang. Tata
ruang ini merupakan gambaran situasi, fenomena
atau keadaan mengenai pemanfaatan ruang. Penataan ruang secara filosofis
adalah upaya intervensi manusia khususnya untuk ruang publik karena akan
dipakai bersama sehingga dapat berkelanjutan. Intervensi ini perlu dilakukan
karena mekanisme pasar tidak bekerja sempurna
dan juga karena adanya kegagalan mekanisme
secara alami. Hal-hal yang harus diatur (a) secara langsung adalah sumber daya
publik, sumberdaya pribadi terkait publik, dan (b) pengaturan tidak langsung sumberdaya non-fisik, terkait dengan
kepentingan umum.
Hal-hal yang perlu diatur secara tidak langsung terkait
dengan keamanan dari bencana
dan kelaparan, dll, kenyamanan, keadilan dan keberimbangan, ketertiban dan
kerteraturan, produktivitas wilayah dan kepastian. Kegagalan dalam mengatur kepentingan publik maka dapat mengancam
keberlanjutan pemanfaatan ruang.
Sejak diluncurkan UU penataan ruang terbaru, maka sebagian
sudah terbentuk
12 perda RTRW provinsi (36%), 95 perda RTRW kabupaten (24%) dan 33 perda RTRW
Kota (36%) (status bulan Maret 2011). Secara legal substansi sudah lebih banyak mendapatkan persetujuan dari badan
kordinasi tata ruang nasional. Bentuk yang sudah mendapat persetujuan secara
legal secara substansi ini ada kemungkinan
belum benar secara teknis khususnya dikaitkan dengan adanya hambatan dalam pemahaman substansi penataan ruang
oleh pembuat dan keberadaan data yang
dipakai. Jika dilihat secara formal keberadaan data yang diperlukan untuk menyusun substansi membutuhkan
data spesifik yang saat ini belum tersedia di seluruh Indonesia baik
untuk data dasar maupun data tematik. Contoh sederhana adalah penentuan rencana
ruang berdasarkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan. Dari pengkajian cepat pada beberapa dokumen RTTW ternyata tidak melakukan perhitungan secara tepat.
Idealnya setiap penentuan zonasi ruang maka didasarkan
berbasis daya dukungnya,
baik untuk kawasan lindung dan budidaya (Lihat Gambar 1). Secara fisik pembagian kawasan ini terlihat dalam dokumen dan
juga di lapangan. Dalam kawasan lindung juga ada kemungkinan ditemukan
aktivitas budidaya, dan dalam kawasan budidaya ditemukan adanya daerah berfungsi
lindung.
Sedangkan Kawasan Perkotaan dan
Kawasan Perdesaan (sasaran makalah ini) tidak secara fisik dibatasi tetapi
dikaitkan dengan fungsi utamanya. Kawasan "Perdesaan" adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam
dengan susunan fungsi untuk pemukman pedesaan, pelayan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan
ekonomi. Wilayah pertanian merupakan bentuk
dominan aktivitas yang ada di kawasan pertanian yang membutuhkan pengelolaan yang sesuai dengan kemampuannya yang
merupakan keunggulan komparatif.
Kawasan
perdesaan ini di kehidupan nyata merupakan daerah yang dominan berupa
pertanian, perkebunan, kehutanan, dan juga industri berbasis sumberdaya yang ada. Secara fisik kawasan perdesaan juga
mempunyai kedekatan dengan Kawasan lindung, sehingga diduga akan ada
intraksi antara kedua wilayah ini. Jika ada
intraksi maka hendaknya penduduk di kawasan perdesaan juga ikut dalam mengawal kawasan tersebut.
Gambar
3 merupakan ilustrasi adanya 3 (tiga) kawasan dalam RTRW yaitu kawasan lindung, kawasan perkotaan, dan kawasan
perdesaan, yang semuanya mempunyai peran utama yang berbeda, dan kemungkinan
ada wilayah transisi. Dalam kenyataannya di lapangan ada kalanya batas ini
tidak mudah dipisahkan. Khusus untuk
kawasan perdesaan dan kawasan lindung umumnya intraksi di lapangan lebih
kuat, sehingga sampai batas tertentu sebagian kehidupan penduduk di kawasan perdesaan juga masuk ke kawasan lindung
(kawasan lindung jarang berbatasan
dengan kawasan perkotaan).
Dalam kaitan sistem, intraksi kawasan lindung, perdesaan
dan perkotaan sejauh ini dibangun dari infrastruktur, yang secara
konseptual harusnya juga memperhitungkan akan keberadaan intraksi
karena fungsi lingkungan, misalnya kawasan lindung akan menyediakan jasa air dan
udara segar ke kawasan lainnya.
Kawasan
perdesaan atau pertanian akan mensuplai kebutuhan tertentu ke kawasan perkotaan, dan kawasan perkotaan mensupai produk
tertentu ke kawasan perdesaan, dan lindung. Gangguan dalam satu
subsistem akan menganggu subsistem lainnya (Barus dan Didit, 2009). Apakah hal
ini sudah tercermin dalam perencanaan ruang secara
umum di Indonesia ? Apakah pengembangan Kawasan perdesaan sudah dilakukan
secara adil dibandingkan dengan Kawasan Perkotaan ?? atau dalam konteks
lebih luas, apakah intraksi dalam skala lebih luas juga diperhatikan dalam
penyusunan RTRW kabupaten ? Bagaiman hubungan dengan skala perencanaan yang lebih luas ??
II. RTRW SEBAGAI DOKUMEN PERENCANAAN
Seperti sudah disampaikan sebelumnya, maka sebagai dokumen
perencanaan maka pemanfaatan kawasan harus sesuai dengan
rencana yang dibuat. Secara umum kawasan lindung ditujukan untuk keperluan
publik dan lingkungan, yang
jika tidak diatur dapat merugikan
publik dan atau menimbulkan kerusakan atau bencana,
sedangkan kawasan budidaya ditujukan untuk keperluan parapihak (pemerintah,
usaha, dan masyarakat) yang keperluannya berbeda dan dalam pemanfaatannya tidak mengganggu keberadaan kawasan
lindung.
Dokumen
RTRW Kabupaten sebagai bahan perencanaan perlu dibuat lebih jelas melalui pengembangan kawasan pedesaan yang
salah satunya menjadi dokumen rencana
rinci di tingkat kabupaten, yang
dicerminkan dengan berbagai zonasi ruang rencanan pemanfaatan. Dalam UU No 26
tahun 2007 pasal 48, jika dilakukan
penataan ruang kawasan perdesaan, maka akan diarahkan untuk :
1.
Pemberdayaan
masyarakat perdesaan;
dalam
penjelasan ditegaskan hal ini ditujukan untuk memperkuat kelembagaan
perekonomian perdesaan, dan juga dapat dibuat lebih jauh seperti mendukung sistem tatanan yang sudah ada khususnya yang baik
dan konstruktif. Proses pemberdayaan masyaralat perdesaan ini dalam prakteknya
sering tidak tepat, misalnya
dilakukan secara tidak langsung. Misalnya dalam pemanfaatan sumberdaya
lokal, maka dididik masyarakat khusus dalam peningkatan produksi, tetapi dalam
pemasaran diserahkan ke pihak lain, atau dalam membentuk produk lanjutan maka
yang dididik pihak non petani. Jika pendekatan ini dilakukan maka nilai tambah akan diperoleh oleh keluarga
non-produsen pertanian atau perdesaan.
Jika pada akhirnya petani tidak mau berproduksi atau lahannya dikonversi karena tidak mensejahterakan, maka
usaha yang sudah dilakukan dalam
pengembangan industri pedesaan adalah gagal
2.
Pertahanan kualitas lingkungan setempat dan wilayah yang didukungnya;
Kualitas
lingkungan setempat dan wilayah yang didukungnya, dapat dimaknakan pemanfaatan ruang sesuai dengan kemampuannya, dan
produktivitasnya juga memperhitungkan
kepentingan lebih luas selain di lokasinya. Hal yang nyata dalam ini adalah
kawasan lindung, yang salah satu fungsinya sebagai sumber pasokan air ke kawasan budidaya yang harus terjaga; atau
kawasan produktif sebagai sumberdaya ekonomi yang menyediakan lowongan
kerja, atau sumber pangan ke penduduk
setempat atau lainnya.
3.
Konservasi sumber daya alam;
Lokasi ini mudah ditentukan dalam RTRW melalui
pengembangan kawasan berfungsi lindung; tetapi hal ini sebagian sudah ada dalam
kawasan lindung, sehingga sistem konservasinya akan lebih terbatas.Yang mungkin
perlu dikembangkan adalah bagaimana supaya adanya peran dari komunitas
perdesaan ikut dalam pengelolaan kawasan lindung atau sejenis. Hal ini perlu dipertimbangkan
mengingat saat ini pengamanan kawasan lindung yang dilakukan oleh pemerintah
semakin sulit karena keterbatasan sumberdaya manusia. Konsep Island of
biogeografi tidak tepat lagi diterapkan.
4.
Pelestarian warisan budaya lokal;
Budidaya lokal merupakan cerminan dari sistem adaptasi
masyarakat dalam pemanfaatan sumberdayanya. Sumberdaya warisan budaya yang
dapat dikaitkan dengan sifat fisik relatif mudah diadopsi ke penataan ruang,
sedangkan yang bersifat non-fisik memerlukan proses tertentu sehingga dapat
diadopsi. Secara umum warisan yang sudah diadopsi adalah menjadikannya sebagai
kawasan berfungsi lindung (heritage area), tetapi sebenarnya juga dapat dalam
bentuk lain.
5. Pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk
ketahanan pangan;dan
Lahan pertanian pangan diperlukan untuk mendukung produksi
pangan di Indonesia dan merupakan usaha strategis. Kawasan pertanian pangan berkelanjutan
dapat diarahkan menjadi kawasan strategis di level pedesaan atau lebih besar,
sehingga isu ketahanan pangan, kemandirian dan kedaulatan pangan dapat
dilaksanakan. Istilah yang diadopsi dalam UU No 41 , 2009 adalah lahan atau
kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B). Di dokumen RTRW lebih rinci atau
disusun kawasan strategisnya dapat dilakukan dengan berbagai proses dan tahapan
yang spesifik; yang pada akhirnya diharapkan dapat mendukung kesejahteraan
masyarakat. Bentuk KP2B ini mudah diterjemahkan di lapangan dan dokumen, hanya
konsekuensinya yang harus diperhitungkan seperti insentif dan disinsentif
terkait dengan lahan yang dipertahankan, atau konversi atau lainnya (Rustiadi
dan Wafda, 2008). Saat ini tantangan terbesar dalam menjaga lahan pangan adalah
konversi lahan. Beberapa tahun lalu sebelum munculnya UU 26, 2007 maka 30
persen konversi sawah akan disebabkan oleh rencana ruang; dan diharapkan hal
ini tidak terjadi lagi.
6.
Penjagaan keseimbangan pembangunan perdesaan-perkotaan.
Penempatan fungsi daerah perdesaan dan perkotaan yang
tepat seyogyanya membuat kedua kawasan ini berkembang, dengan asumsi fungsi
kawasan lindung juga dijaga. Upaya membuat keseimbangan ini hendaknya dilihat
dalam kebutuhan secara utuh, karena kenyataan saat ini pembangunan
infrastruktur di kedua kawasan ini relatif timpang sehingga memunculkan
berbagai masalah. Sejauh ini muncul pandangan bahwa kawasan perdesaan adalah
inferior terhadap kawasan perkotaan yang seharusnya tidak terjadi. Idealnya
semua kebutuhan pengembangan perdesaan seperti infrastruktur yang mendukung
perdesaan tersedia; atau yang lebih progresif seperti juga dinyatakan dalam UU
Penataan ruang dalam pembangunan daerah agropolitan.
Secara
ringkas dalam konteks perencanaan ruang, atau pemanfaatan dan pengendalian ruang disusun tabel matriks berikut.
Dari tabel matrik terlihat untuk tujuan komponen C dan D
sudah diketahui dan diterjemahkan ke perencanaan ruang dengan baik, karena
menyangkut penentuan kawasan berfungsi lindung. Sedangkan tujuan B dan E sedang
dicoba dijalankan melalui penentuan zonasi berbasis kemampuan lahan atau daya
dukung wilayah dan berbagai parameter lainnya. Saat ini dalam penentuan zonasi
perntukan lahan pertimbangan kesesuaian fisik sudah dijalankan; sedangkan usaha
menjaga lahan sawah sudah menjadi kepedulian pemerintah dan juga sedang
mengarah ke perencanaan yang lebih operasional. Untuk mencapai tujuan A dan F
lebih sulit karena lebih kompleks, mengingat diperlukan keterlibatan masyarakat
secara lebih komprehesif dan perlu dikombinasikan dengan kepentingan dan
petimbangan lainnya..
3.3.
Fakta pengembangan kawasan pedesaan
a. Pengembangan agropolitan
Berbagai lokasi Kawasan Agropolitan sudah dikembangkan di
Indonesia yang sebagian disusun berdasarkan kebutuhan wilayah setempat melalui
pembuatan perencanaan induk pengembangan komoditas tertentu, yang mungkin
penyusunannya
dilakukan sebelum RTRW selesai atau kebalikannya. Dari berbagai lokasi perencanaan pengembangan
berbasis komoditas terdapat variasi kemajuan, tetapi umumnya lokasi yang maju
ini sangat ditentukan oleh keberadaan infrastruktur yang mendukung pengembangan
komoditas tersebut (Rustiadi dan Pranoto, 2006).
Fakta menunjukkan kawasan pertanian belum tentu menjadi
sektor yang mendapatkan keuntungan di wilayah tersebut tetapi keuntungannya
terdapat diwilayah lain, yang sebagian hal ini terjadi karena infrastruktur
penciptaan nilai tambah berada di wilayah lain. Di Jawa Kontribusi sektor
pertanian dalam pembentukan PDRB secara signifikan hanya terjadi di kota kecil
dan menengah, bukan di sentra produksi (Andi, 2012) (Gambar 4). Hal ini juga
terjadi di beberapa wilayah di Indonesia seperti di Sumut atau Sulsel
b.
Perencanaan dan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan daya dukung fisik
Perencanaan dan / atau pemanfaatan yang tidak sesuai
dengan daya dukung fisik lingkungan masih terjadi dalam perencanaan ruang yang
baru (dan tentu yang lama). Perencanaan seperti ini tentu tidak akan
menghasilkan pembangunan yang berkelanjutan atau mensejahterakan masyarakat di
masa yang akan datang. Potensi terjadinya bencana tidak akan terelakkan dimasa
yang akan datang.
Sebagian perencanan yang ada adalah mencoba mengadopsi
penggunaan atau pemanfaatan yang sudah ada, tanpa mengindahkan daya dukung
fisik. Upaya ini kemungkinan besar dilakukan untuk aspek praktis saja supaya
tidak mendapatkan tolakan dari komunitas tertentu, tetapi pada akhirnya lokasi
tersebut juga akan rusak
dan juga berdampak ke wilayah lain (lihat Gambar 5 dan
Gambar 6a). Idealnya dilakukan revisi perencanaan ruang yang mengadopsi isu
tersebut.
c.
Pengembangan Lahan Pertanian Berkelanjutan (LP2B atau KP2B)
Untuk pengembangan kawasan perdesaan, salah satu yang
eksplisit yang menjadi tujuan adalah mempertahankan daerah pertanian pangan
berkelanjutan. Melalui UU No 41, 2009, sudah diarahkan ke perlunya penetapan
lahan (LP2B), lahan cadangan (LCP2B) dan kawasan pertanian pangan berkelanjutan
(KP2B); yang
semuanya disusun dalam RTRW rinci, sedangkan dalam RTRW
sebagai indikasi.
Untuk menyusun hal yang dimaksud dalam UU No 41 tersebut
maka disusun berbagai persyaratan fisik, sosial dan ekonomi. Dari ujicoba yang
dilakukan penulis, maka penggunaan parameter kesesuaian lahan, infrastruktur
irigasi, produktivitas, keinginan masyarakat, dan prediksi pertumbuhan penduduk
relatif mudah dilakukan, sedangkan untuk akomodasi dari ekonomi secara ekonomi
masih perlu pengkajian lebih spesifik (Barus dkk, 2010).
Di Kabupaten Garut, upaya penentuan LP2B, KP2B relatif
mudah dengan pendekatan kriteria fisik, produktivitas dan infrastruktur dan
persepsi (Lihat Gambar 6). Hanya untuk menghitung keuntungan yang layak untuk
mempertahankan lahan sawah perlu dilihat dari sisi kesejahteraan masyarakat;
dan hal ini dapat dilakukan atau dikonversikan ke besaran insentif yang layak
diberikan untuk setiap peranan petani dengan berbagai kategori. Sejauh ini
rencana lebih detil belum dilakukan dengan alasan tertentu seperti status
poduksi masih surplus untuk kebutuhan lokal atau karena isu lain terkait dengan
keperluan konversi lebih mudah dilakukan jika tidak disusun dalam dokumen
rinci. Dalam jangka pendek, untuk pembangunan perdesaan dimana ditemukan banyak
lahan sawah, maka diperlukan secara cepat penyusunan insenitif sehingga petani
akan menghasilkan produktivitas yang tinggi atau tidak mengkonversikan lahan
sawahnya ke penggunaan lain
IV. USULAN PENGEMBANGAN KAWASAN PEDESAAN
Untuk pengembangan kawasan perdesaan dalam kaitan dengan
penataan
ruang, maka disarankan beberapa hal sebagai berikut :
4.1. Secara filosofis / konsep
Saat ini perlu perubahan pandangan dalam pengembangan
kawasan dari pandangan kawasan perkotaan lebih utama dibandingkan kawasan lain.
Dalam hal ini semua kawasan mempunyai peran spesifik dan berbagai sarana
pendukungnya hendaknya dipenuhi sehingga berkembang. Intraksi antara kawasan
perlu dikalkulasi dengan baik, dan diseimbangkan, sehingga semua kawasan
merupakan daerah yang nyaman untuk dihuni.
4.2. Prinsip utama yang perlu dilakukan
Ada 2 program alternatif yang perlu dilakukan yaitu:
a. Mendorong pengembangan industri pedesaan berbasis
sumber daya lokal.
Dalam hal ini pengembangan berbasis keunggulan komparatif
harus diutamakan karena sudah akan lebih mudah diterapkan, dibandingkan
pengembangan dari sisi manusia dan teknolog. Terjemahan secara operasional
adalah berdasarkan daya dukung. Hambatan sejauh ini datang dari manusia dan
infrastruktur dan kepemilikan lahan kecil (tidak ekonomis). Upaya menekan
hambatan perlu
dilakukan
b. Menginternalisasikan jasa-jasa lingkungan.
Konsep ini juga sesuai dengan daya dukung lingkungan
seperti yang disarankan dalam perundangan, tetapi mempunyai hambatan karena
sebagai kawasan lindung dan sejenisnya adalah dikuasai oleh negara dan
masyarakat masih terisolasi dalam pengelolaannya. Sampai saat ini masalah
ketimpangan juga terjadi sehingga sebagian masyarakat menjarah kawasan lindung
ini. Berarti isu perlunya lahan menjadi penting khususnya dari sisi penguasaan
(dan bukan dari pemilikan). Sistem penguasaan ke masyarakat di sekitar kawasan
lindung perlu dikembangkan.
4.3.
Pengembangan berbasis komoditas
Pengembangan agropolitan dalam UU penataan ruang sebagai
salah satu solusi pengembangan kawasan perdesaan, yang sudah dilakukan di
beberapa wilayah, dengan tingkat keberhasilan bervariasi. Sejauh ini diperlukan
perencanaan induk yang benar, dan pengembangan SDM dan lembaga yang kuat.
Selain itu pengembangan infrastruktur sesuai kebutuhan industri dan jasa di
level pedesaan mutlak dilakukan. Kenyataan yang ada bahwa saat ini -
infrastruktur pedesaan ini tidak dibangun; malah yang ada semakin rusak dan
perlunya pengembangan SDMi.
V. PENUTUP
Dari ulasan yang sudah disampaikan sebelumnya maka untuk
pengembangan
kawasan perdesaan yang ideal dan sudah berjalan saat ini
dibuat beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Dalam penyusunan RTRW untuk kawasan perkotaan dan
perdesaan saat ini
dalam pelaksanaannya lebih mengembangkan kawasan
perkotaan dan belum
seimbang dan ini mengancam pembangunan secara keseluruhan
2. Kawasan perdesaan perlu dikembangkan secara selaras
dengan pengembangan
perkotaan dengan melihat kebutuhan peran dan fungsi
secara utuh
3. Sebagian tujuan pengembangan perdesaan di penataan
ruang sudah/mudah
diterjemahkan dalam praktek melalui penentuan kawasan
lindung di RTRW (untuk konservari dan budidaya lokal), sedang (KP2B dan daya
dukung) dan relatif sulit
(partisipasi masyarakat dan keseimbangan kota -desa)
4. Ada 2 (dua) ide utama untuk pengembangan perdesaan
yaitu: pengembangan
industri lokal dan pemanfaatan jasa lingkungan, yang
semuanya terkait dengan keunggulan komparatif lokal atau daya dukung wilayah
yang membutuhkan perbaikan dalam SDM.
5. Pengembangan perdesaan berbasis sumberdaya lokal saat
ini masih mengalami
hambatan terutama dari infrastruktur dan SDM
DAFTAR REFERENSI
1. Anonim, 2006. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan
Pertanian. Direktorat Pangan dan
Pertanian, Bappenas
2. Barus, B. Dan Didit, O.P. 2009. Pengembangan
Ecovillage dalam Rangka Perencanaan
dan Pengembangan Wilayah. Dalam Pengembangan Model
Ecovillage (editor E. Sunarti)..
LPPM IPB
3. Barus, B, D. Panuju, LS Iman, Bambang H.T. 2010.
Pemetaan Lahan Sawah untuk
mendukung Pengembangan Kebijakan Pertanian di Kabupaten
Garut. P4W dan Pemda
Garut
4. Rustiadi, E dan S. Pranoto, 2007. Agropolitan:
Membangun Ekonomi Pedesaan. Crespent
Press.
5. UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Departemen
Pekerjaan Umum
6. UU No 41, tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Departemen Pertanian.
7. Rustiadi, E dan R. Wafda, 2008. Urgensi Pengembangan
Lahan Pertanian Pangan Abadi
dalam Persfektif Ketahanan Pangan. Dalam Penyelamatan
Tanah, Air, dan Lingkungan
(editor S. Arsyad dan E. Rustiadi). Yayasan Obor
0 komentar :
Posting Komentar