Profile Pokja

Sabtu, 19 April 2014

Pengembangan Kawasan Perdesaan dalam RTRW berbasis Karakter lokal dan Lingkungannya

Pengembangan Kawasan Perdesaan dalam RTRWberbasis Karakter lokal dan Lingkungannya
Oleh :Baba Barus, Didiet O. Pribadi, Andi S. Putra, O.Rusdiana, dan Setia hadi(Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah) LPPM IPB, Baranang Siang,Bogor,Email penulis pertama : Bababarus@yahoo.com; Hp : 081383600745

I. PENDAHULUAN
Menurut UU No 26, tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang diwujudkan  dalam bentuk struktur dan pola ruang. Tata ruang ini merupakan gambaran situasi, fenomena atau keadaan mengenai pemanfaatan ruang. Penataan ruang secara filosofis adalah upaya intervensi manusia khususnya untuk ruang publik karena akan dipakai bersama sehingga dapat berkelanjutan. Intervensi ini perlu dilakukan karena mekanisme pasar tidak bekerja sempurna dan juga karena adanya kegagalan mekanisme secara alami. Hal-hal yang harus diatur (a) secara langsung adalah sumber daya publik, sumberdaya pribadi terkait publik, dan (b) pengaturan tidak langsung sumberdaya non-fisik, terkait dengan kepentingan umum.
Hal-hal yang perlu diatur secara tidak langsung terkait dengan keamanan dari bencana dan kelaparan, dll, kenyamanan, keadilan dan keberimbangan, ketertiban dan kerteraturan, produktivitas wilayah dan kepastian. Kegagalan dalam mengatur kepentingan publik maka dapat mengancam keberlanjutan pemanfaatan ruang.
Sejak diluncurkan UU penataan ruang terbaru, maka sebagian sudah terbentuk 12 perda RTRW provinsi (36%), 95 perda RTRW kabupaten (24%) dan 33 perda RTRW Kota (36%) (status bulan Maret 2011). Secara legal substansi sudah lebih banyak mendapatkan persetujuan dari badan kordinasi tata ruang nasional. Bentuk yang sudah mendapat persetujuan secara legal secara substansi ini ada kemungkinan belum benar secara teknis khususnya dikaitkan dengan adanya hambatan dalam pemahaman substansi penataan ruang oleh pembuat dan keberadaan data yang dipakai. Jika dilihat secara formal keberadaan data yang diperlukan untuk menyusun substansi membutuhkan data spesifik yang saat ini belum tersedia di seluruh Indonesia baik untuk data dasar maupun data tematik. Contoh sederhana adalah penentuan rencana ruang berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Dari pengkajian cepat pada beberapa dokumen RTTW ternyata tidak melakukan perhitungan secara tepat.
Idealnya setiap penentuan zonasi ruang maka didasarkan berbasis daya dukungnya, baik untuk kawasan lindung dan budidaya (Lihat Gambar 1). Secara fisik pembagian kawasan ini terlihat dalam dokumen dan juga di lapangan. Dalam kawasan lindung juga ada kemungkinan ditemukan aktivitas budidaya, dan dalam kawasan budidaya ditemukan adanya daerah berfungsi lindung.       
Sedangkan Kawasan Perkotaan dan Kawasan Perdesaan (sasaran makalah ini) tidak secara fisik dibatasi tetapi dikaitkan dengan fungsi utamanya. Kawasan "Perdesaan" adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi untuk pemukman pedesaan, pelayan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Wilayah pertanian merupakan bentuk dominan aktivitas yang ada di kawasan pertanian yang membutuhkan pengelolaan yang sesuai dengan kemampuannya yang merupakan keunggulan komparatif.
Kawasan perdesaan ini di kehidupan nyata merupakan daerah yang dominan berupa pertanian, perkebunan, kehutanan, dan juga industri berbasis sumberdaya yang ada. Secara fisik kawasan perdesaan juga mempunyai kedekatan dengan Kawasan lindung, sehingga diduga akan ada intraksi antara kedua wilayah ini. Jika ada intraksi maka hendaknya penduduk di kawasan perdesaan juga ikut dalam mengawal kawasan tersebut.



Gambar 3 merupakan ilustrasi adanya 3 (tiga) kawasan dalam RTRW yaitu kawasan lindung, kawasan perkotaan, dan kawasan perdesaan, yang semuanya mempunyai peran utama yang berbeda, dan kemungkinan ada wilayah transisi. Dalam kenyataannya di lapangan ada kalanya batas ini tidak mudah dipisahkan. Khusus untuk kawasan perdesaan dan kawasan lindung umumnya intraksi di lapangan lebih kuat, sehingga sampai batas tertentu sebagian kehidupan penduduk di kawasan perdesaan juga masuk ke kawasan lindung (kawasan lindung jarang berbatasan dengan kawasan perkotaan).
Dalam kaitan sistem, intraksi kawasan lindung, perdesaan dan perkotaan sejauh ini dibangun dari infrastruktur, yang secara konseptual harusnya juga memperhitungkan akan keberadaan intraksi karena fungsi lingkungan, misalnya kawasan lindung akan menyediakan jasa air dan udara segar ke kawasan lainnya.

Kawasan perdesaan atau pertanian akan mensuplai kebutuhan tertentu ke kawasan perkotaan, dan kawasan perkotaan mensupai produk tertentu ke kawasan perdesaan, dan lindung. Gangguan dalam satu subsistem akan menganggu subsistem lainnya (Barus dan Didit, 2009). Apakah hal ini sudah tercermin dalam perencanaan ruang secara umum di Indonesia ? Apakah pengembangan Kawasan perdesaan sudah dilakukan secara adil dibandingkan dengan Kawasan Perkotaan ?? atau dalam konteks lebih luas, apakah intraksi dalam skala lebih luas juga diperhatikan dalam penyusunan RTRW kabupaten ? Bagaiman hubungan dengan skala perencanaan yang lebih luas ??

II. RTRW SEBAGAI DOKUMEN PERENCANAAN
Seperti sudah disampaikan sebelumnya, maka sebagai dokumen perencanaan maka pemanfaatan kawasan harus sesuai dengan rencana yang dibuat. Secara umum kawasan lindung ditujukan untuk keperluan publik dan lingkungan, yang jika tidak diatur dapat merugikan publik dan atau menimbulkan kerusakan atau bencana, sedangkan kawasan budidaya ditujukan untuk keperluan parapihak (pemerintah, usaha, dan masyarakat) yang keperluannya berbeda dan dalam pemanfaatannya tidak mengganggu keberadaan kawasan lindung.
Dokumen RTRW Kabupaten sebagai bahan perencanaan perlu dibuat lebih jelas melalui pengembangan kawasan pedesaan yang salah satunya menjadi dokumen rencana rinci di tingkat kabupaten, yang dicerminkan dengan berbagai zonasi ruang rencanan pemanfaatan. Dalam UU No 26 tahun 2007 pasal 48, jika dilakukan penataan ruang kawasan perdesaan, maka akan diarahkan untuk :
1.    Pemberdayaan masyarakat perdesaan;
dalam penjelasan ditegaskan hal ini ditujukan untuk memperkuat kelembagaan perekonomian perdesaan, dan juga dapat dibuat lebih jauh seperti mendukung sistem tatanan yang sudah ada khususnya yang baik dan konstruktif. Proses pemberdayaan masyaralat perdesaan ini dalam prakteknya sering tidak tepat, misalnya dilakukan secara tidak langsung. Misalnya dalam pemanfaatan sumberdaya lokal, maka dididik masyarakat khusus dalam peningkatan produksi, tetapi dalam pemasaran diserahkan ke pihak lain, atau dalam membentuk produk lanjutan maka yang dididik pihak non petani. Jika pendekatan ini dilakukan maka nilai tambah akan diperoleh oleh keluarga non-produsen pertanian atau perdesaan. Jika pada akhirnya petani tidak mau berproduksi atau lahannya dikonversi karena tidak mensejahterakan, maka usaha yang sudah dilakukan dalam pengembangan industri pedesaan adalah gagal
2. Pertahanan kualitas lingkungan setempat dan wilayah yang didukungnya;
Kualitas lingkungan setempat dan wilayah yang didukungnya, dapat dimaknakan pemanfaatan ruang sesuai dengan kemampuannya, dan produktivitasnya juga memperhitungkan kepentingan lebih luas selain di lokasinya. Hal yang nyata dalam ini adalah kawasan lindung, yang salah satu fungsinya sebagai sumber pasokan air ke kawasan budidaya yang harus terjaga; atau kawasan produktif sebagai sumberdaya ekonomi yang menyediakan lowongan kerja, atau sumber pangan ke penduduk setempat atau lainnya.
3. Konservasi sumber daya alam;
Lokasi ini mudah ditentukan dalam RTRW melalui pengembangan kawasan berfungsi lindung; tetapi hal ini sebagian sudah ada dalam kawasan lindung, sehingga sistem konservasinya akan lebih terbatas.Yang mungkin perlu dikembangkan adalah bagaimana supaya adanya peran dari komunitas perdesaan ikut dalam pengelolaan kawasan lindung atau sejenis. Hal ini perlu dipertimbangkan mengingat saat ini pengamanan kawasan lindung yang dilakukan oleh pemerintah semakin sulit karena keterbatasan sumberdaya manusia. Konsep Island of biogeografi tidak tepat lagi diterapkan.
4. Pelestarian warisan budaya lokal;
Budidaya lokal merupakan cerminan dari sistem adaptasi masyarakat dalam pemanfaatan sumberdayanya. Sumberdaya warisan budaya yang dapat dikaitkan dengan sifat fisik relatif mudah diadopsi ke penataan ruang, sedangkan yang bersifat non-fisik memerlukan proses tertentu sehingga dapat diadopsi. Secara umum warisan yang sudah diadopsi adalah menjadikannya sebagai kawasan berfungsi lindung (heritage area), tetapi sebenarnya juga dapat dalam bentuk lain.
5. Pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan   pangan;dan
Lahan pertanian pangan diperlukan untuk mendukung produksi pangan di Indonesia dan merupakan usaha strategis. Kawasan pertanian pangan berkelanjutan dapat diarahkan menjadi kawasan strategis di level pedesaan atau lebih besar, sehingga isu ketahanan pangan, kemandirian dan kedaulatan pangan dapat dilaksanakan. Istilah yang diadopsi dalam UU No 41 , 2009 adalah lahan atau kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B). Di dokumen RTRW lebih rinci atau disusun kawasan strategisnya dapat dilakukan dengan berbagai proses dan tahapan yang spesifik; yang pada akhirnya diharapkan dapat mendukung kesejahteraan masyarakat. Bentuk KP2B ini mudah diterjemahkan di lapangan dan dokumen, hanya konsekuensinya yang harus diperhitungkan seperti insentif dan disinsentif terkait dengan lahan yang dipertahankan, atau konversi atau lainnya (Rustiadi dan Wafda, 2008). Saat ini tantangan terbesar dalam menjaga lahan pangan adalah konversi lahan. Beberapa tahun lalu sebelum munculnya UU 26, 2007 maka 30 persen konversi sawah akan disebabkan oleh rencana ruang; dan diharapkan hal ini tidak terjadi lagi.
6. Penjagaan keseimbangan pembangunan perdesaan-perkotaan.
Penempatan fungsi daerah perdesaan dan perkotaan yang tepat seyogyanya membuat kedua kawasan ini berkembang, dengan asumsi fungsi kawasan lindung juga dijaga. Upaya membuat keseimbangan ini hendaknya dilihat dalam kebutuhan secara utuh, karena kenyataan saat ini pembangunan infrastruktur di kedua kawasan ini relatif timpang sehingga memunculkan berbagai masalah. Sejauh ini muncul pandangan bahwa kawasan perdesaan adalah inferior terhadap kawasan perkotaan yang seharusnya tidak terjadi. Idealnya semua kebutuhan pengembangan perdesaan seperti infrastruktur yang mendukung perdesaan tersedia; atau yang lebih progresif seperti juga dinyatakan dalam UU Penataan ruang dalam pembangunan daerah agropolitan.
Secara ringkas dalam konteks perencanaan ruang, atau pemanfaatan dan pengendalian ruang disusun tabel matriks berikut.
Dari tabel matrik terlihat untuk tujuan komponen C dan D sudah diketahui dan diterjemahkan ke perencanaan ruang dengan baik, karena menyangkut penentuan kawasan berfungsi lindung. Sedangkan tujuan B dan E sedang dicoba dijalankan melalui penentuan zonasi berbasis kemampuan lahan atau daya dukung wilayah dan berbagai parameter lainnya. Saat ini dalam penentuan zonasi perntukan lahan pertimbangan kesesuaian fisik sudah dijalankan; sedangkan usaha menjaga lahan sawah sudah menjadi kepedulian pemerintah dan juga sedang mengarah ke perencanaan yang lebih operasional. Untuk mencapai tujuan A dan F lebih sulit karena lebih kompleks, mengingat diperlukan keterlibatan masyarakat secara lebih komprehesif dan perlu dikombinasikan dengan kepentingan dan petimbangan lainnya..

3.3. Fakta pengembangan kawasan pedesaan

a. Pengembangan agropolitan
Berbagai lokasi Kawasan Agropolitan sudah dikembangkan di Indonesia yang sebagian disusun berdasarkan kebutuhan wilayah setempat melalui pembuatan perencanaan induk pengembangan komoditas tertentu, yang mungkin penyusunannya
dilakukan sebelum RTRW selesai atau kebalikannya.   Dari berbagai lokasi perencanaan pengembangan berbasis komoditas terdapat variasi kemajuan, tetapi umumnya lokasi yang maju ini sangat ditentukan oleh keberadaan infrastruktur yang mendukung pengembangan komoditas tersebut (Rustiadi dan Pranoto, 2006).
Fakta menunjukkan kawasan pertanian belum tentu menjadi sektor yang mendapatkan keuntungan di wilayah tersebut tetapi keuntungannya terdapat diwilayah lain, yang sebagian hal ini terjadi karena infrastruktur penciptaan nilai tambah berada di wilayah lain. Di Jawa Kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan PDRB secara signifikan hanya terjadi di kota kecil dan menengah, bukan di sentra produksi (Andi, 2012) (Gambar 4). Hal ini juga terjadi di beberapa wilayah di Indonesia seperti di Sumut atau Sulsel

b. Perencanaan dan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan daya dukung fisik
Perencanaan dan / atau pemanfaatan yang tidak sesuai dengan daya dukung fisik lingkungan masih terjadi dalam perencanaan ruang yang baru (dan tentu yang lama). Perencanaan seperti ini tentu tidak akan menghasilkan pembangunan yang berkelanjutan atau mensejahterakan masyarakat di masa yang akan datang. Potensi terjadinya bencana tidak akan terelakkan dimasa yang akan datang.
Sebagian perencanan yang ada adalah mencoba mengadopsi penggunaan atau pemanfaatan yang sudah ada, tanpa mengindahkan daya dukung fisik. Upaya ini kemungkinan besar dilakukan untuk aspek praktis saja supaya tidak mendapatkan tolakan dari komunitas tertentu, tetapi pada akhirnya lokasi tersebut juga akan rusak


 dan juga berdampak ke wilayah lain (lihat Gambar 5 dan Gambar 6a). Idealnya dilakukan revisi perencanaan ruang yang mengadopsi isu tersebut.
c. Pengembangan Lahan Pertanian Berkelanjutan (LP2B atau KP2B)
Untuk pengembangan kawasan perdesaan, salah satu yang eksplisit yang menjadi tujuan adalah mempertahankan daerah pertanian pangan berkelanjutan. Melalui UU No 41, 2009, sudah diarahkan ke perlunya penetapan lahan (LP2B), lahan cadangan (LCP2B) dan kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B); yang
semuanya disusun dalam RTRW rinci, sedangkan dalam RTRW sebagai indikasi.
Untuk menyusun hal yang dimaksud dalam UU No 41 tersebut maka disusun berbagai persyaratan fisik, sosial dan ekonomi. Dari ujicoba yang dilakukan penulis, maka penggunaan parameter kesesuaian lahan, infrastruktur irigasi, produktivitas, keinginan masyarakat, dan prediksi pertumbuhan penduduk relatif mudah dilakukan, sedangkan untuk akomodasi dari ekonomi secara ekonomi masih perlu pengkajian lebih spesifik (Barus dkk, 2010).
Di Kabupaten Garut, upaya penentuan LP2B, KP2B relatif mudah dengan pendekatan kriteria fisik, produktivitas dan infrastruktur dan persepsi (Lihat Gambar 6). Hanya untuk menghitung keuntungan yang layak untuk mempertahankan lahan sawah perlu dilihat dari sisi kesejahteraan masyarakat; dan hal ini dapat dilakukan atau dikonversikan ke besaran insentif yang layak diberikan untuk setiap peranan petani dengan berbagai kategori. Sejauh ini rencana lebih detil belum dilakukan dengan alasan tertentu seperti status poduksi masih surplus untuk kebutuhan lokal atau karena isu lain terkait dengan keperluan konversi lebih mudah dilakukan jika tidak disusun dalam dokumen rinci. Dalam jangka pendek, untuk pembangunan perdesaan dimana ditemukan banyak lahan sawah, maka diperlukan secara cepat penyusunan insenitif sehingga petani akan menghasilkan produktivitas yang tinggi atau tidak mengkonversikan lahan sawahnya ke penggunaan lain
IV. USULAN PENGEMBANGAN KAWASAN PEDESAAN
Untuk pengembangan kawasan perdesaan dalam kaitan dengan penataan
ruang, maka disarankan beberapa hal sebagai berikut :
 4.1. Secara filosofis / konsep
Saat ini perlu perubahan pandangan dalam pengembangan kawasan dari pandangan kawasan perkotaan lebih utama dibandingkan kawasan lain. Dalam hal ini semua kawasan mempunyai peran spesifik dan berbagai sarana pendukungnya hendaknya dipenuhi sehingga berkembang. Intraksi antara kawasan perlu dikalkulasi dengan baik, dan diseimbangkan, sehingga semua kawasan merupakan daerah yang nyaman untuk dihuni.
 4.2. Prinsip utama yang perlu dilakukan
Ada 2 program alternatif yang perlu dilakukan yaitu:
a. Mendorong pengembangan industri pedesaan berbasis sumber daya lokal.
Dalam hal ini pengembangan berbasis keunggulan komparatif harus diutamakan karena sudah akan lebih mudah diterapkan, dibandingkan pengembangan dari sisi manusia dan teknolog. Terjemahan secara operasional adalah berdasarkan daya dukung. Hambatan sejauh ini datang dari manusia dan infrastruktur dan kepemilikan lahan kecil (tidak ekonomis). Upaya menekan hambatan perlu
dilakukan
b. Menginternalisasikan jasa-jasa lingkungan.
Konsep ini juga sesuai dengan daya dukung lingkungan seperti yang disarankan dalam perundangan, tetapi mempunyai hambatan karena sebagai kawasan lindung dan sejenisnya adalah dikuasai oleh negara dan masyarakat masih terisolasi dalam pengelolaannya. Sampai saat ini masalah ketimpangan juga terjadi sehingga sebagian masyarakat menjarah kawasan lindung ini. Berarti isu perlunya lahan menjadi penting khususnya dari sisi penguasaan (dan bukan dari pemilikan). Sistem penguasaan ke masyarakat di sekitar kawasan lindung perlu dikembangkan.


4.3. Pengembangan berbasis komoditas
Pengembangan agropolitan dalam UU penataan ruang sebagai salah satu solusi pengembangan kawasan perdesaan, yang sudah dilakukan di beberapa wilayah, dengan tingkat keberhasilan bervariasi. Sejauh ini diperlukan perencanaan induk yang benar, dan pengembangan SDM dan lembaga yang kuat. Selain itu pengembangan infrastruktur sesuai kebutuhan industri dan jasa di level pedesaan mutlak dilakukan. Kenyataan yang ada bahwa saat ini - infrastruktur pedesaan ini tidak dibangun; malah yang ada semakin rusak dan perlunya pengembangan SDMi.


V. PENUTUP
Dari ulasan yang sudah disampaikan sebelumnya maka untuk pengembangan
kawasan perdesaan yang ideal dan sudah berjalan saat ini dibuat beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Dalam penyusunan RTRW untuk kawasan perkotaan dan perdesaan saat ini
dalam pelaksanaannya lebih mengembangkan kawasan perkotaan dan belum
seimbang dan ini mengancam pembangunan secara keseluruhan
2. Kawasan perdesaan perlu dikembangkan secara selaras dengan pengembangan
perkotaan dengan melihat kebutuhan peran dan fungsi secara utuh
3. Sebagian tujuan pengembangan perdesaan di penataan ruang sudah/mudah
diterjemahkan dalam praktek melalui penentuan kawasan lindung di RTRW (untuk konservari dan budidaya lokal), sedang (KP2B dan daya dukung) dan relatif sulit
(partisipasi masyarakat dan keseimbangan kota -desa)
4. Ada 2 (dua) ide utama untuk pengembangan perdesaan yaitu: pengembangan
industri lokal dan pemanfaatan jasa lingkungan, yang semuanya terkait dengan keunggulan komparatif lokal atau daya dukung wilayah yang membutuhkan perbaikan dalam SDM.
5. Pengembangan perdesaan berbasis sumberdaya lokal saat ini masih mengalami
hambatan terutama dari infrastruktur dan SDM

DAFTAR REFERENSI
1. Anonim, 2006. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Direktorat Pangan dan
Pertanian, Bappenas
2. Barus, B. Dan Didit, O.P. 2009. Pengembangan Ecovillage dalam Rangka Perencanaan
dan Pengembangan Wilayah. Dalam Pengembangan Model Ecovillage (editor E. Sunarti)..
LPPM IPB
3. Barus, B, D. Panuju, LS Iman, Bambang H.T. 2010. Pemetaan Lahan Sawah untuk
mendukung Pengembangan Kebijakan Pertanian di Kabupaten Garut. P4W dan Pemda
Garut
4. Rustiadi, E dan S. Pranoto, 2007. Agropolitan: Membangun Ekonomi Pedesaan. Crespent
Press.
5. UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum
6. UU No 41, tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Departemen Pertanian.
7. Rustiadi, E dan R. Wafda, 2008. Urgensi Pengembangan Lahan Pertanian Pangan Abadi
dalam Persfektif Ketahanan Pangan. Dalam Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan
(editor S. Arsyad dan E. Rustiadi). Yayasan Obor 

0 komentar :

Posting Komentar