Profile Pokja

Jumat, 22 Agustus 2014

SANG BAGAWANTA BARI

Kediri (RBM). Monumen di Simpang Tiga itu tetap berdiri dengan anggunnya. Hitam kelabu ke kuning-kuningan memantulkan cahaya perak keemasan dikala matahari menerpanya, namun ada kalanya cahaya itu redup tapi tidak mampu menghalangi sosok wajah tua yang memancarkan “Daya Pangaribawa” angker diantara tumpukan batu SERINJING yang berlumutan dikelit mata rantai di selingkarnya. 
Itulah wujud monumen sosok “ BHAGAWANTA BARI ” sebagai lambang kekuatan sejarah pada jamannya dan sebagai simbol kearifan budaya lokal yang penuh dengan misteri dan perlu dikaji peran, pesan serta pagan (kekuatan) nya. 
Perjalanan sosok sang BHAGAWANTA BARI bagai mentari yang melintas bumi, dia terbit dan diterbitkan bagai surya membuka cakrawala pagi, kemudian secara perlahan telah menapakkan serta meniti sambil memberi kehangatan hidup. 
Sang BAGAWANTA BARI, dia terus mendaki sampai di titik kulminasi sebagai punggawa ataupun abdi dalem keraton mataram hindu yang dalam kesetiaan akan panggilan hidup mampu menorehkan simbol kearifan budaya lokal. 
Harus di akui bahwa perjuangan dalam menempuh apa yang telah “disanggeminya” dalam kedudukan dia sebagai Sang Bhagawan / Sang Guru atau “Rsi” sangat teguh dan tegar. Ia pemimpin yang mengajarkan, ia berbuat serta meneladani dan memberikan semangat untuk menjadi kuat. Dan sayangnya, kemudian kita terlelap dalam buaian budaya manca yang semakin mengikis tatanan tradisional yang dalam kenyataan nya banyak menyandang nilai – nilai luhur. 
Dan waktupun terus bergulir, setelah mencapai puncak karyanya, kemudian alampun menghantarkan perlahan untuk hidup menuju senja dengan kedamaiannya.
Namun puncak karyanya tak akan redup oleh sejarah dan jaman walau hari ini telah mencapai usia 1210 tahun, nama itu masih dikenang. Saluran dan tanggul Harinjing tetap berdiri dengan kokohnya sejak tonggak sejarah dipancang di hari ke Sebelas Suklapasa bulan Caitra tahun 726 saka ( Tanggal 25 Maret Tahun 804 M ) menjadi tengara awalnya Kediri Purba.
Sosok BHAGAWANTA BARI adalah sosok manusia yang memiliki jiwa patriotisme dan gotong royong yang tinggi serta kearifan budaya.
Tiga hal itulah yang tercermin dan mudah dipahami serta dikenali sampai saat ini.

1.       Jiwa patriot        :
Secara etimologis, patriotisme berasal dari kata “patria” yang berarti bapak dan “isme” yang berarti paham.
Kata bapak disini dapat berarti suatu paham dimana dan darimana dia dilahirkan yang bermuara suatu paham mencintai akan pembelaan dimana dia dilahirkan dan mengembalikan sesuatu yang asasi dia kembalikan dimana dia dihidupi.
2.       Gotong royong :
Gotong royong atau dapat disebut bekerja bersama-sama adalah merupakan nilai yang berakar dari budaya jawa. Nilai itu semula merupakan kehidupan bernuansa arakat dalam menerobos, memecahkan serta mengatasi problem dan atau benturan-benturan permasalahan ketika timbul di masyarakat
Dalam budaya yang bertambah kegiatan tersebut pada dasarnya mengemukakan solidaritas kehidupan dipedesaan gotong royong merupakan nilai dasar yang dapat menciptakan jaringan sosial yang berfungsi untuk memecahkan persoalan sehari-hari yang dihadapi.
3.       Kearifan budaya
Kerifan budaya lokal jawa lahir, tambah dan hidup berkembang sepanjang perjalanan sejauh jawa itu sendiri. Budaya jawa terwujud dalam berbagai bentuk representasi baik berupa Gagasan,  pemikiran, ajaran-ajaran moral/spiritual, ajaran filsafat maupun gagasan dan konsep kepemimpinan serta bermasyarakat.
Dari cakupan 3 (tiga) hal tersebut itulah maka peran yang dijalankan, pesan yang ditinggalkan serta pagan atau kekuatan yang ditunjukkan tetap membekas sampai kini. Tak ubahnya PNPM         “ Mandiri Perdesaan “, bendera itu telah dikibarkan dan sudahkah lambaian ujungnya menyentuh kehidupan masyarakat? :
·         Apakah masyarakat cukup memandang dari jauh dan kemudian menaruh rasa hormat sambil berdiri dalam benturan para pengambil kebijakan ?
·         Ataukah masyarakat harus berperilaku menjadi pemeran yang baik dari Sang Sutradara ?
Entahlah apapun nama sebutan dan istilahnya yang miring dan serta bertumbuh dalam sebuah peradaban yang tak terbendung, tetapi “ Sang Bhagawanta Bari “  masih menggenggam sebaris ungkapan dan seolah menyampaikannya “ NISCAYA KEMANDIRIAN ITU SEGERA TERWUJUD. UNGKAPLAH PESAN BUDAYA YANG ADI LUHUNG YANG DAPAT MEMBERI SEMANGAT YANG SELAMA INI SELALU BERDIRI DIBALIK KELIR DALAM WIRACARITA “. oleh: Ki Juru Martani

0 komentar :

Posting Komentar